Bhinneka Tinggal di Neraka

Sebagai satu-satunya negara bangsa Arab di Timur Tengah yang memiliki presiden Kristen, Lebanon memang layak disebut “ruang bernapas pluralisme” bagi kawasan. Berawal dari pelabuhan Beirut yang menjadi pusat masuknya segala hal dari Eropa pada jaman Ottoman—termasuk agama, budaya, dan pencampuran ras. Pada abad 17-an, kawasan yang kini kita sebut Lebanon dikuasai seorang pangeran Druze, yang sempat diasingkan khalifah ke Italia, dan ikut menyaksikan perkembangan Renaisans. Kepulangannya ke Lebanon yang kembali berkuasa membawa sekaligus revolusi budaya dan intelektual tersebut. Selain mengenalkan mesin percetakan pertama di kawasan, ia juga mendukung para Jesuit Katolik membuka sekolah di seantero negeri. Ini adalah salah satu faktor yang mendasari kuatnya pondasi Kristiani di Lebanon kini.

Seiring berjalannya waktu, Perancis jadi semacam ibu asuh Lebanon pasca kejatuhan Ottoman. Keterikatan Perancis dengan Lebanon juga didasari hubungan politik mereka dengan populasi Kristen yang besar di sini. Sampai ketika beragam suku yang terpolarisasi agama di Lebanon menuntut kemerdekaannya, kubu Kristen Maronit yang cinta pada Perancis jelas tak ingin dirinya merdeka. Sementara dari kubu non-Kristen, lebih cenderung berpihak pada arabisme Suriah. Mereka ingin bergabung dengan Suriah. Resolusi atas konflik ini berakhir dengan kemerdekaan Lebanon sebagai negara independen.

Resolusi itu bernama National Pact. Kesepakatan ini tidak tertulis, namun dipahami, disepakati, dan dipegang teguh secara serius oleh seluruh lapisan masyarakat. Isinya, kesepakatan pemberian kursi presiden pada partai dari agama Kristen Maronit; perdana menteri untuk partai dari Islam Sunni; ketua parlemen untuk partai Islam Syiah; staf umum militer untuk partai Druze; dalam kesepakatan juga termasuk kerelaan partai Muslim melepaskan mimpi persatuannya dengan Suriah, dan penerimaan partai Kristen atas identitas Lebanon sebagai negara bangsa Arab. Dalam konstitusi yang lahir setelahnya, tercatut bahwa Lebanon dibentuk dengan persatuan 18 sekte (12 sekte Kristen, empat Muslim, Druze, dan Yahudi). Dari sini, jatah pembagian 128 kursi parlemen dibagi antara kubu Kristen dan Islam dengan perbandingan 6:5. Menjadikan identitas Lebanon sebagai negara dengan pembagian kekuasaan berdasarkan kelompok agama.

Kesepakatan ini mengukuhkan citra Lebanon sebagai negara yang plural dan toleran. Tak butuh waktu lama, Lebanon mentransformasikan dirinya sebagai ikon utama pluralisme di Timur Tengah. Menjadi kiblat liberalisme dunia Arab dan pelarian bagi warga tetangga yang terlalu mendapat banyak aturan di negara asalnya. Dibalik semua keberagaman itu semua Lebanon juga memiliki kekuatan ekonomi yang sangat stabil, menjadikan Lebanon tempat yang menjajikan untuk mengadu nasib bagi siapapun.

Namun, tak berlangsung lama. Pada dekade 60-an, kubu Muslim mulai tak puas dengan alokasi kekuasaan di parlemen. Tingginya angka kelahiran Muslim dan tingginya angka imigrasi dari penduduk Kristen harusnya membalik keadaan. Ditambah lahirnya Israel yang menempel di perbatasan selatan Lebanon yang membakar tak hanya situasi politik di Lebanon, tapi seantero Arab. Pengungsi dari Palestina membludak sampai ke Beirut, dan akhirnya memicu perang sipil pada tahun 1975—yang berakhir tahun 1990. Perang berakhir dalam satu perjanjian yang disebut Taif – nama kota tempat perjanjian ini ditandatangani di KSA.

Pasca perang yang berlangsung hampir 20 tahun, yang sebenarnya murni konflik politik antar partai, para pihak yang bertikai bersepakat satu sama lain. Mereka yang sering disebut sendiri oleh masyarakat lebanon sebagai mafia perang  melangkahkan kakinya menuju pemerintahan dan memulai dominasi politiknya. Mereka yang sebelumnya menggunakan seragam milter kini duduk nyaman mengenakan jas di pemerintahan.

Ketika tampuk kekuasaan di tangan mereka, para elite politik ini mulai mengambil keuntungan dari sekte agama yang mengangkat mereka ke meja pemerintahan sebagai wakil, dan tidak banyak yang memiliki nyali untuk membicarakan atau mengkritiknya. Para elite sepakat untuk membagi setiap sektor yang ada di Lebanon guna dimonopoli, mendominasi industri tertentu tanpa persaingan. Pada akhirnya korupsi meluas, perpecahan di dalam dan di luar tubuh pemerintahan, ketegangan sekterian, ekonomi semakin merosot, fasilitas publik tidak efisien, dan pertengkaran elit politk dalam membuat keputusan tentang isu-isu yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhan warga Lebanon sama sekali.

Singkatnya, keberagaman sekterian yang dibenturkan dengan kepentingan politik adalah kanker yang terus merambat dalam tubuh Lebanon.  

Oleh:

Muhammad Bahesty dan Irfan Afendi; Kastrat PPI Lebanon 2018-2019

Ig: @ppi_lebanon @abahcomic @irfaanafendii

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *