Toleransi: Penghinaan, Perbedaan, Kebiasaan

Orang tak dikenal membakar habis perpustaakaan milik Pendeta Kristen Ortodox di utara Lebanon, Tripoli. Pendeta Sarrouj dituduh telah melecehkan Islam, setelah ada yang menemukan artikel ‘sensitif’ dalam sebuah buku di perpustakaannya. Satu penjaga perpustakaan tertembak. Dan sekitar 50.000 buku lenyap setelah melayani kebutuhan publik sejak 1972.

Kejadian itu terjadi Januari 2014 silam. Di Tripoli yang punya populasi 80% muslim. Sebelumnya Pendeta sudah menemui para petinggi muslim setempat untuk klarifikasi. Dan akhirnya demonstrasi yang direncanakan, dibatalkan. Pasca pembakaran, aparat mengatakan Pendeta Sarrouj tak melakukan kesalahan apapun—bahwa artikel tersebut, tak ada hubungannya dengan pendeta. Saat konferensi pers, aparat berjanji “siapapun yang ingin menyulut perselisihan di Tripoli ditakdirkan masuk penjara, sebagaimana yang akan menimpa mereka para pembakar (perpustakaan pendeta)”.

Agustus 2018 seorang muslim ditemukan mati terpotong-potong di pinggir jalan kota Danniyeh, Lebanon Utara. Korban—Muhammed al-Dhaibi, awalnya terlibat adu mulut dengan penjaga toko kelontong soal kenaikan harga, kata saudaranya pada media. Muhammed secara spontan menyebut Tuhan dalam makiannya pada penjaga toko. Seorang Syeikh (Kyai), mendengar ucapan Muhammed dan menegurnya. Dan Syeikh-pun ikut terlibat perdebatan dengan Muhammed.

Setelah meninggalkan toko, Muhammed dicegat Syeikh bersama dua saudaranya yang langsung membunuh korban dan membuang tubuhnya di sebuah jalan. Setelah investigasi, aparat mengatakan bahwa korban “menghina Syeikh dan Tuhan”. Tak lama, Syeikh dan saudaranya menyerahkan diri sambil menyatakan kebanggaan atas tindakannya, dilansir Al-Jadeed.

Akhir tahun kemarin, Hakim Jocelyne Matta lewat pengadilan Tripoli memvonis dua pemuda muslim untuk mempelajari Alquran. Sepuluh hari sebelumnya, dua anak ini memasuki sebuah gereja, menjatuhkan patung Mary di dalamnya, mencium patung tersebut dengan pose tidak senonoh. Mereka merekam aksi tersebut lalu menyebarkannya via WhatsApp.

Seperti Indonesia, Lebanon juga punya pasal penghinaan agama. Dalam Pasal 437 Hukum Pidana Lebanon menyatakan hukuman maksimal satu tahun penjara, bagi siapapun yang “menghina Tuhan di muka umum”. Namun sampai sekarang, belum ada satupun laporan yang mengatakan seseorang terjerat pasal tersebut.

Menurut survey Gallup, masyarakat Lebanon secara umum masih lebih toleran daripada Britania dan Jerman—jangan tanya negara Arab lainnya. Dalam merespon “Saya tidak keberatan seorang dari agama lain pindah ke sebelah rumah saya”, 76% responden menyatakan “sangat setuju”. Sementara Britania dan Jerman hanya 57%.

Selain itu, di saat bersamaan, untuk membayangkan tingkat relijiusitas masyarakat Lebanon, 82% responden muslim dan 86% responden kristen sepakat bahwa agama sangat penting dalam keseharian hidup mereka.

Sebagai contohnya kita bisa melihat paduan suara yatim-piatu muslim dari Imam Sadr Foundation, yang menyanyikan lagu natal di Gereja Saint Elie, Beirut, 2017 silam.

Image Source: Stepfeed.com

Atau Syeikh Khaled Yamout yang melantunkan azan dan kutipan Surat Maryam dalam sebuah acara untuk Perawan Mary di Gereja Médaille Miraculeuse, Beirut.

Meskipun perang sipil pernah menghancurkan Paris-nya Timur Tengah, Lebanon masih dikenal sebagai ruang bernapas pluralisme—khususnya pasca Musim Semi Arab. Selain memberi jatah kursi politik pada 18 sekte berbeda, pemerintah menjamin kebebasan melakukan ritual agama dan pembangunan rumah ibadah, selama tidak mengganggu ketertiban publik. Sampai sekarang, juga tidak ada laporan mengenai kekerasan atau diskriminasi yang berkaitan dengan keyakinan atau praktik keagamaan.

Mungkin itu sebabnya, puluhan warga dan pelajar Tripoli ikut membantu proses pembersihan lalu mengumpulkan bantuan untuk membangun perpustakan bersejarah Pendeta Sarrouj “lebih baik dari sebelumnya”.

“Saya meminta polisi menangkap mereka yang mengeluarkan fatwa dan memerintahkan penyerangan (perpustakaan), ketimbang fokus pada mereka yang melakukan penyerangan”, kata Syeikh Salem al-Rafei kepada media.

Oleh:

Muhammad Bahesyti; Hauzah Baqiyatullah, Lebanon Selatan

Kordinator Kastrat PPIL 2018-2019

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *